Tapi aku selalu menikmati jatuh cinta di jogja. Aku selalu suka ketika hormon oksitosin menguasaiku lalu menguarkannya lewat kata-kata. Aku tak peduli pada efek sampingnya, bahwa aku akan jadi tolol atau jadi tak rasional. Aku juga tak peduli ia akan memuarakanku ke mana; apakah ke sunset paling romatis di Bukit Paralayang, atau ke botolan bir paling kelam di Prawirotaman.
Aku menikmatinya. Selalu.
Selalu membiarkan diriku jatuh cinta dengan rambut Doramu, dengan perasaaan aneh ketika diam-diam kau menyentuh tanganku, dengan rasa bangga ketika akhirnya aku berani memelukmu untuk pertama kalinya, dengan cara kikukmu mengusap rambutku dan dengan obrolan panjang kita di tempat rahasia.
Aku suka ketika Jogja mendadak berubah jadi warna pink keunguan. Ketika tiba-tiba Jogja jadi slow motion. Aku jadi punya waktu lebih lama untuk memperhatikan lekuk wajahmu, menebak isi kepalamu, dan bisa memutuskan secara yakin, bahwa aku jatuh cinta padamu.
Tentu, aku sadar betul bahwa jatuh cinta di Jogja sangat membuatku bisa jadi tak waras. Bisa kembali lagi merasakan brengseknya kehilangan karena kau akhirnya kembali ke rumahmu, merasakan remuk dan sakitnya melihat kau ke Jakal dengan orang lain dan merasakan kacaunya perasaan karena lagi-lagi aku gagal menjalin hubungan yang serius.
“Tiba-tiba perasaanku berubah ke kamu. Aku nggak tau kenapa. Jadi maaf.” Katamu.
Percayalah, aku akan selalu siap mendengar kata-kata itu darimu. Aku tak akan mendebatmu. Aku cuma akan diam sambil terus merawat ingatan bahwa aku mencintaimu, meski cuma di Jogja.
Dan ya, sungguh menyenangkan jatuh cinta di Jogja. Sungguh menyenangkan punya berbagai varian perasaan tak wajar –yang akan selalu kusyukuri dengan khidmat dan bijaksana.
So, aku akan terus berharap bisa jatuh cinta setiap hari di Jogja. Bisa kembali menumpahkan perasaanku ke kamu di pertemuan paling sunyi, meski dengan sembunyi-sembunyi.
Oh ya, maaf untuk kentang goreng yang membuatmu kesal ya. Dan maaf juga, aku kentang.