Di Kepalamu, Semua Persoalan Jadi Terlalu Cepat

Hei!

Cukup lama aku tidak mendengar ceritamu. Sepertinya apa-apa yang kau tunjukkan belakangan ini, jauh dari aroma kepiluan ya? Mana kata-kata pedih paling bajingan itu? Mana Kawa-Kawa paling muram di kosanmu itu? Masa secepat itu?

Eh iya, kini semuanya jadi terlalu cepat ya? 🙂

Aku jadi ingat; dulu kau selalu menyembunyikan kepelikanmu lewat kata-kata yang entah kau dapat dari mana. Tipis-tipis kau membagikan kisah sedihmu, atau aktivitas memancing di circle hijaumu. Aku selalu meresponnya di situ, dan aku selalu tahu akan berakhir seperti apa.

“Kau selalu lihai mengetuk pintu belakangan!” kataku saat kau bilang…

“Kepala lagi berisik banget, nih! Temenin ngopi donk!” di WhatsApp.

“Hei gadis! Jangan sedih. Kamu itu udah berhasil ngelewatin banyak hari, dan pada akhirnya kamu akan memaklumi kesedihanmu. Percaya deh! Sedihmu itu mungkin abadi, tapi rasa syukurmu akan jauh lebih abadi!” jawabku suatu ketika, setelah sesaat sebelumnya kujawab “Lagi pengen dibungkus ya?” dengan canda paling membuatmu terbahak.

***

Malam ini bulan ndadari seisi Jogja. Tiba-tiba aku rindu memutari alun-alun. Kuniatkan keluar dari persembunyian. Memesan kopi susu lima ribuan lalu duduk di bibir jalan sambil menikmati riuh alun-alun yang… kental sekali aroma masa lalunya.

Di situ, di antara kerumunan, di antara gandeng tangan dan obral janji para pasangan, kita sempat saling membungkus satu sama lain. Itu pertemuan kelima kita.

“Kenapa ya, cowok-cowok yang deketin gue selalu menjurus ke hal seronok?” katamu setelah memberi sangu ke pengamen bersuara fals.

“Ya karena elu dapetnya dari Tinder!” sautku sembarang.

“Eh! Emang lu tau jalur cepat bebas hambatan buat cari jodoh?” timpalmu dengan tawa paling getir. Lalu kau bicara soal usia, krisis eksistensi dan setumpuk kabar pernikahan yang meresahkan.

***

Tiga hari lalu, aku menginstall Bumble –sebab Tinder terasa kelam buatku. Bumble itu cukup merepotkan. Wanita diprioritaskan. Lelaki cuma boleh menunggu dalam diam. Juga… kesialan bukan cuma di dunia nyata, bahkan di aplikasi kita dipaksa bayar untuk memperbesar kemungkinan bisa bertemu orang baru. Suram betul!

***

“Gue tuh bukan males basa-basi, bukan males memulai lagi. Gue cuma capek harus seleksi lagi” katamu beberapa hari lalu saat kutanya “Apakah Tinder bekerja dengan baik?”

***

Hari ini jam satu pagi, aku uninstall Bumble.

***

Pada akhirnya kita akan selalu mengutuk. Mencemooh diri di tengah terpaan hubungan orang-orang yang langgeng dan apa adanya. Segala siasat akan gagal pada waktunya. Segala jalur akan tertutup pada akhirnya. Segala apa yang normal dan benar akan muncul pada masanya.

***

“Hati-hati. Jangan buru-buru. Kau sedang rentan” kataku sendiri di Pesan Untukmu.

***

“Eh lama gak ketemu. Gue sedih nih. Ketemu yuk!” katamu belum lama.

“Nggak!” jawabku mantap.

Tapi diam-diam kutelusuri akun altermu.

***

Uhhhhh… mengapa seanjing itu hidup akhir-akhir ini 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like