Sejujurnya, buber adalah salah satu moment yang paling kutunggu di ramadan. Bahkan bisa dibilang, aku orang yang cukup sering mengompori teman-teman untuk buber – ya meski pun selalu gagal.
Setelah lama tak berjumpa, buber adalah cara paling mentok untuk bisa berbagi cerita dengan teman-teman. Mendengarkan bagaimana mereka menyikapi hidup sejauh ini. Atau hal-hal apa saja yang mengangetkan mereka pasca menikah. Atau bagaimana rasanya harus bangun di tengah malam karena buah hati mengompol.
Aku juga ingin tahu bagaimana proses mereka mencapai titik tertentu. Atau apakah makna privilege yang dulu kami sepakati masih relevan sampai sekarang.
Tentu, akan ada gelak tawa di sana. Atau senyum tipis penuh kehangatan, lengkap dengan candaan paling getir. Sesekali ada romansa cinta yang manis, tentang indahnya masa-masa itu.
Dan aku selalu tidak peduli pada menu buber yang disajikan. Entah itu ayam geprek atau sayur brongkos. Entah itu sup buah atau es kelapa muda. Itu tidak penting.
Terpenting buatku, adalah tahu kabar mereka setelah lama tak bersua. Apakah ada perubahan cara pandang dalam memaknai hidup? Apakah waktu mengajarkan mereka sesuatu? Sungguh aku ingin tahu. Agar lebih siap mengokohkan kaki di tengah tuntutan hidup yang lebih sering kayak bajingan ini.
Aku juga tak peduli jika oborolan akan mengarah ke pencapaian fiktif atau kesuksesan yang dibesar-besarkan. Atau adu pamer-pameran harta sambil bicara karir yang mulus. Sungguh, aku tak masalah jika harus mendengarnya. Toh, mereka punya kewajiban untuk mempertanggung jawabkan itu.
Dari semua moment buber itu, aku cuma rindu bertemu. Rindu mendengar ceritamu.
Sebab selalu, di bulan Ramadan, aku pasti kehilangan tempat mengadu.