Seketika kiamat kecil terjadi di kepalaku. Jogja mempersembahkan seiris sakit lewat balasan DMnya yang… Hahh… yaaa… Patah hati singgah lagi.
Selayaknya kisah Majnun, patah hati buatku juga seperti kutukan. Apalagi di Jogja. Ia seperti pesepeda motor yang tetiba njedul dari balik gang-gang sempit Gejayan. Atau pendekar berasaskan cinta damai yang malah membuat Jogja gelisah berhari-hari.
Patah hati di Jogja? Sial.
Dan kenapa selalu, saat aku mulai mengidolakan seseorang lewat Jogja, feedback yang ku dapat adalah oleh-oleh berupa patah hati? Mengapa tidak sesuatu yang manis? Sesuatu yang lembut? Sesuatu yang di mana aku mendapatkannya, seperti menikmati Bakpia Mutiara? Manis dan lembut di saat bersamaan.
Tapi namanya hidup, tak lengkap rasanya kalau tak merasakan drama dari si cantik bukan? Dan ia tetap jadi sosok yang paling kucintai, sekaligus kubenci.
Dengan sedikit pedih, kubalas DMnya. Tak lupa kuganti suaraku sedikit lebih ceria agar tak terdengar cengeng di telinganya.
“OO iya iya gpp. Yaudah met bobo ya!”
Dua hari kemudian, satu pesan dari si cantik masuk ke DMku.
“Met bobo juga ganteng. Shareloc donk bang!”