Ketika kupergoki bunga-bunga bermekaran di matamu, aku sangat yakin hubungan ini akan berjalan lancar. Belum lagi rayuanku yang selalu kau sambut dengan emoji lucu, membuatku giat penetrasi ke hatimu.
Ya, sejak awal aku memang suka padamu. Suka pada cara bicaramu, pada diksi yang kau pilih ketika mengutarakan sesuatu, pada gontai kepala yang kau daratkan di bahuku, juga pada kegembiraan yang kau pancarkan setiap kita bertemu –meski aku juga tahu; kau lihai menyembunyikan luka.
“Tapi bukankah luka bisa disembuhkan?” Ujarku dalam hati.
Maka dengan dalih mengajakmu nyore di Sindu Kusuma Edupark, aku mengutarakan niatku. Meluruskan hubungan kita yang lupa diberi nama.
“Bukankah ini harus dipatenkan?” kataku di antara sinar senja yang belepotan di pelipismu.
Tapi kau bergeming. Matamu menolak tatapanku. Matamu pergi ke suatu masa yang monokrom.
“Masa lalumu belum pergi, ya?” Timpalku pada helai rambut yang berserakan di bahumu.
Lagi-lagi kau diam. Kau seolah ingin semua yang sudah kita lalui cuma jadi hubungan tanpa kejalasan. Hubungan yang poros putarnya, serupa bianglala rasaksa di Sindu Kusuma Edupark.
Baik…
Seharusnya aku tak kurang tak lebih. Hanya cukup diam menganggumi. Hanya cukup diam menganggumi. Tak berharap kau disampingku.
Ya, sejak awal seharusnya aku tak berharap lebih dari respon penuh bunga yang kau beri. Seharusnya, sejak awal, aku sadar, bahwa aku tak sebaik orang yang dulu milikimu.