Apa yang paling istimewa dari mulut yang tak henti melagukan doa-doa selain langkah yang lebih tegas, tatapan yang makin menajam dan hati yang kian terlatih? Mungkin adalah ke-bertahan-an diri yang sampai saat ini sangat kusyukuri.
“Adakah obat paling ampuh untuk bertahan?” Tanyaku kadang-kadang.
Sementara lagu-lagu terputar, memori baik-buruk mengadakan reuni di kepala; menciptakan gelombang suara dari mereka yang ada dan tiada. Mereka yang jadi alasan mengapa aku masih duduk di sini, sampai jam dua pagi, mengerjakan tetek bengek duniawi yang membuatku merasa…
BAGAI BURUNG KESEPIAN
KEHILANGAN KAWANAN SAAT TERBANG
MELAJU DAN T’RUS BERTAHAN
HATINYA TERLUKA DITEMANI HUJAN
Namun aku masih mau di sini. Di tempat dingin ini, meski digempur bising kepala yang lengkingannya tak terukur. Merayakan tak menyangkanya aku yang bisa bertahan sejauh ini, meski sendiri, meski jarang dapat afirmasi.
Tahrim pun datang, kusujudkan diri…
Tuhan, atas semua kepogohan, berisiknya kepala dan lelah yang tak bisa dikalkulasikan, aku berlindung dari godaan kata menyerah.