Kau selalu kembali dalam wujud yang lebih manis dari janji. Kau selalu punya cara membayangi. Dan sekuat apapun aku menyibak senyummu, serapat apapun aku mengurung ingatan tentangmu, kau tak pernah jemu menawariku harapan.
Kau tentu tak ingat betapa aku secara sadar memilihmu di antara banyaknya rayuan. Kau malah menyuruhku pergi. Kau dengan sangat amat kurang ajarnya, menjadikanku manusia terapes di semesta.
Kau, itu sungguh tak masuk akal. Bagaimana bisa kau yang ku sayang dengan penuh dan bulat malah membalasku dengan duka paling gelap.
Kau ingat? Dulu kau memintaku membersamaimu menjenguk rumah yang kita gambar di angkasa. Kau mengajakku menyemai air hujan yang jatuh di awal November. Tapi belum tuntas tugas-tugas itu, kau malah mengumbar perhatian ke banyak orang.
Kau seolah tak mau tahu bahwa ada aku yang nestapa. Bahwa ada aku, yang…
Gematine koyok aku, iseh kerep dilarani. Sabar-sabar e atiku, iseh panggah diapusi. Ra masalah. Yen aku kalah.
Lalu kalau bukan pada doa-doa yang kupanjatkan di sepertiga malam, ke mana seharusnya pedih ini ku-muarakan? Baik-baik selalu, ya. Semoga hidupmu cerah.