Aku seperti mendapatkan mukjizat saat pertama kau mengulurkan tangan. Kau menolongku ketika jatuhku adalah niscaya. Mengobatiku dengan usapan paling menghangatkan dada. Kau memahami pelik dan terjalnya hidup yang kuhadapi. Menyelam ke dasar kepalaku lalu memberi alasan logis mengapa hidupku berharga. Tentu saja, aku bahagia bukan main. Resahku menghilang, dan sekali lagi, harus aku ingatkan; menemukanmu seperti mendapatkan mukjizat.
Saat itu kupikir kau orang yang dikirimkan semesta untuk jadi teman menyulam waktu. Namun setelah banyak hari tanggal, setelah terangkum banyak kebersamaan; entah di café, di teras rumah, di Wedang Kopi Prambanan, kau pelan-pelan mengendurkan rangkulan.
Resah kembali menginternvesi. Sial… sudah resah, jadi luka pula!
Mungkin alam semesta tak menerimanya, dan waktu tak memberi kesempatannya.
Mungkin hidup sedang melatihku untuk tidak menggantungkan harapan pada siapa pun. Tidak terlalu nyaman dengan pelukan terhangat sekali pun. Dan baru ku tahu juga; dalam etimologi Bahasa Arab, mukjizat punya arti melemahkan. Tapi terima kasih, setidaknya kau sudah menemani sembuhku. Terima kasih 🙂