Bertemu Cikande Eps. 1 – 3

Versi Sulih Suara

Versi Teks

PART 1

Buat jaga-jaga: konten yang akan lu liat ini, mungkin bisa mengganggu lu. Kalau lu gak suka tapi terlanjur nonton sampai habis karena penasaran, lu bisa jangan memberi respon apapun, termasuk like, komen, share, save. apapun! Karena itu akan memicu gue buat nerusin cerita ini.

Based on true story.

Cikande, pos ronda, malam hari sedikit mendung.

“Emang abis berapa duit sih kalo ke psikolog gitu?” tanya salah satu temen ke temennya yang juga temen gue.

“Setau gue, beda-beda. Tergantung rating sih” jawabnya sesaat sebelum menyeruput kopi.

“Dah kaya belanja online yak!” celetuk gue yang tiba-tiba nimbrung.

“Seetttt mahal juga!” kata temen gue setelah ngecek biaya konseling psikolog terdekat.

“Itu nanti kita atur jadwal gitu buat ketemu?” tambahnya lagi.

“Iya. Tergantung psikolognya. Makin mahal, makin bagus, makin diprioritasin” jawab temen gue.

Entah temen gue itu ngarang atau engga, tapi setau gue, jawaban dia soal biaya ke psikolog tergantung rating itu emang ada. Ada yang murah, tapi ratingnya bagus. Ada yang mahal, tapi ratingnya jelek. Tergantung, pinter-pinter kita milih.. Milih orang asing “berlisensi” yang baru lu kenal untuk masuk ke “kamar pribadi” lu buat mengurai seabrek problem di hidup lu.

Atau bisa juga tergantung seberapa tinggi derajat akademik si psikolog. Atau seberapa sering si psikolog direkomendasikan dengan iklan. Di sebuah aplikasi yang lagi naik daun sejak pandemi itu, juga bisa lu cek. Ada. Ada berbagai pilihan psikolog dengan spek-spek sesuai kebutuhan lengkap dengan harga paling reasonable 😊

Tentu gue bisa memahami perbedaan harga dari setiap psikolog yang ada. Dan dalam konteks tertentu, gue paham soal istilah ada harga, ada rupa. Itu selalu berlaku bagi kita atas semua hal kan? Termasuk kesehatan jiwa kita.

“Kenapa cees? Abis putus kalik?” tanya temen gue sambil menepuk pundaknya.

Dia cuma tertawa sambil menyenderkan diri ke bahu pos. Malam itu, dia menghadirkan dirinya tak seperti biasanya. Kali ini, dia tampak rapuh, tampak sayu dan pandangan matanya bener-bener pekat: sepekat langit malam yang dikepung asap pabrik dengan berbagi varian bau limbah kala itu.

“Lu sibuk apa cees?” tanya gue. Gue menanyakan itu karena emang gak sering ketemu sama dia. Selain gue lebih sering stay di Jogja, dan jarang balik ke Cikande, rumahnya cukup jauh dari rumah gue.

“Nganggur gue, Res. Kerja baru tiga bulan. Kontrak gak diperpanjang” jawabnya lirih sambil mengusap dahi.

Alih-alih gak mau bikin dia makin kalut, gue ngajak dia nyanyi.

“Ayo nyanyi lah. Suara lu bagus. Kayak vokalisnya Rocket Rockers” kata gue sambil mengacungkan jempol. Kenyataannya emang iya. Suaranya bagus, dan gue suka sama karakter suaranya.

Maka, kami bernyanyi lagu Ingin Hilang Ingatan milik Rocket Rockers. Sesekali menenggak kopi anyep ala kadarnya dan menyumet udut Apache yang dibeli ketengan. Gue nyanyi dikit-dikit karena gak apal liriknya. Tapi mata gue selau ngelirik ke temen gue itu; mencoba membaca dia lagi kenapa.

Di bagian reff lagu, tiba-tiba dia nangis. Meski gak sampe sesenggukan, dari suaranya yang berat dan putus-putus, kami semua tau dia sedang menahan sesuatu yang berat di kepalanya.

Agar suasana tak canggung, kami tetap bernyanyi, ia tetap bernyanyi. Malam tetap menawarkan gigilnya, langit ikut merayakan dengan duka dan kepedihan paling bangsat. Cikande lelap dalam bayang tagihan dan biaya hidup yang mencekam. Orang-orang sibuk memikirkan dirinya sendiri. Bergosip sana-sini; menciptakan terror bagi anak muda pengangguran dan lelaki berumur yang belum menikah.

Sementara temen gue, sibuk melawan jeritan di kepalanya. Sendirian. Tanpa sesiapa.

Lalu pada Juni, 2021. Media masa memberitakan:

Viral. Seorang Pemuda di Cikande, Tewas Gantung Diri.


PART 2

Malam itu terbilang cukup dingin untuk sebuah tempat dengan hiasan pabrik-pabrik besar serta bau limbah aneka rupa. Tempat di mana tujuan hidup hanya soal berangkat subuh pulang maghrib.

Selepas isya, ada ritual wajib yang bisa kamu tunaikan; nongkrong di pos ronda. Sekedar minum tuak atau cuma gitaran menyanyikan lagu-lagu sedih. Di sela-sela itu, biasanya kami menumpahkan cerita. Keseringan gossip, atau soal perbandingan gaji dari satu pabrik dengan pabrik lainnya atau ide usaha yang masih mengawang-ngawang dan terdengar ambisius.

Berita duka itu muncul di ponsel gue dari seorang temen. Itu terjadi cuma beberapa minggu setelah gue balik ke Jogja. Gue masih inget banget, Jogja lagi terik-teriknya dan banyak pegawai dipangkas gajinya karena pandemi belum reda. Gue yang saat itu lagi take video untuk sebuah projek, langsung minta ijin untuk jeda. Menyediri. Mengatur napas, membaikkan perasaan. Lalu ngontak mama. Dan mama membenarkan kabar itu.

Cikande berduka. Langit berubah kelabu; mengalahkan warna asap yang keluar dari banyak cerobong pabrik yang sulit ngasih kesempatan kerja bagi warga setempat.

“Kita selalu menggunakan SDM setempat kok!” kata kebanyakan jubir pabrik-pabrik.

“Taik! Lu selalu punya spesifikasi buat nerima orang kerja di tempat lu! Harus yang cakep lah, harus yang tinggi lah, harus yang kayak Tuhan lah! Sekali pun bisa, lu selalu punya cara paling cerdas buat nguras kantong si pelamar! Kita tuh kerja cari duit, bukan ngeluarin duit!” kata gue selalu dengan membentak tapi selalu tak bisa bersuara.

Sorry. Sedikti emosional.

Dapet kabar itu, gue dan temen-temen kaget bukan kepalang. Beberapa temen ngasih info terkini.

“Jadi sering diem dia, mas sekarang” kata salah satu temen.

“Kita sering dateng ke rumahnya, mas. Ngasih support. Tapi dia sering nolak. Dia selalu pengen sendiri” tambah temen gue yang lain.

Dan banyak info lain yang seharusnya bikin lu  mengucap syukur atas hidup lu sekarang.

Akhirnya, gue menyelam jauh ke kapala gue. Memahami bagaimana kondisi mental temen gue. Tapi gue selalu mentok. Gue bingung. Blank. Sepertinya memahami isi kepala sesorang itu nggak semudah ngebenerin jalanan Cikande yang entah kenapa selalu gak bener. Juga memahami background, kultur dan kesehatan finansial –yang mana ini jauh lebih penting untuk dipikirin.

Kalau lu tanya ke gue gimana solusinya, dan apa yang harus dilakuin. Jadiin gue camat, atau bupati, atau presiden sekalian!

Sementara Cikande tetap berjalan dengan semestinya. Orang-orang tetap bekerja. Pabrik masih jadi tujuan hidup yang cemerlang. Sebagian yang lain sibuk rebahan sambil tiktokan memakan gossip selebritis, padahal beberapa meter dari tempatnya rebahan, banyak hal memilukan terjadi.

Lalu, suar dari pemuka agama lantang menyuarakan surga-neraka melalui tragedi yang terjadi. Seolah-olah ini semua cuma soal iman dan seberapa sering kita datang ke tempat ibadah.

Gue dan temen-temen, cuma bisa diem memendam semuanya –sambil selalu mengirim alfatihah paling iklhas. Doa paling panjang untuk meyakinkan kami, bahwa ia tenang di sana.

In the end, kami selalu kalah. Kalah pada keadaan. Kalah pada kemauan pabrik yang selalu kayak tai anjing. Kalah menjinakkan bringasnya Cikande yang padahal adalah tempat lahir kami.

Juga di ujung sana, para psikolog berlomba-lomba memberi pelayanan konseling dengan berbagai gimmick. Pandemi jadi momentum. Harga selalu jadi point yang ditekankan dalam setiap advertising. Seolah-olah ini semua cuma jualan. Ah, maaf. Kita semua memang sedang jualan.

Kalau lu gak bisa bayar, maka… meminjam bait puisi Chairil Anwar, Mampus kau dikoyak-koyak sepi.!”


PART 3

Mungkin lu ngerasa dua video gue terakhir tentang Cikande terkesan sok bener dan provokatif. Sejujurnya enggak. Itu tuh kayak bapak kolot galak yang lagi memarahi anaknya karena ngojay di danau Situ Terate. Khawatir ada oray yang mematuk tubuh lu. Khawatir uang jajan lu dipalak sama jawara sekitar. Khawatir lu gak balik-balik saat hari sudah gelap dan dingin. Gue sayang sama Cikande. Teramat sangat.

Gue cuma mau memantik curiosity lu; bahwa ada banyak fakta memilukan yang terjadi di sebuah Kecamatan berlabel “Kawasan Industri” itu. Di mana kita susah banget buat mencukupi biaya hidup, terkhusus kesehatan mental, di tengah kepungan pabrik yang megah dan kokoh.

Kayak lu lagi ngeliat ada nasi uduk enak di depan lu, tapi lu gak bisa menjangkau apalagi menikmatinya. Lu cuma bisa mencium baunya. Bau sedap untuk membohongi perut lu. Sungguh ironi.

Lalu, buat lu yang concern dengan isu kesehatan mental, please lakukan yang terbaik apapun metodenya. Kasih kemudahan semaksimal yang lu bisa. Lu gak akan tahu, misal ada yang dateng ke elu buat konseling pakai BPJS dan lu menganggapnya remeh, bisa jadi besok dia akan menghantui hidup lu lewat mimpi dan bayangan.

Terus buat lu yang lagi merasa dunia ini anjing banget. Trust me, lu gak sendiri. Lu cuma lagi pengen sendiri. Dan itu gak papa. Lakukan apa pun yang membuat lu bahagia. Isi kepala lu dengan banyak wawasan atau kalo lu susah buat cerita, menulislah. Nulis. Nulis apapun yang pengen lu tulis. Buat buku harian untuk diri lu sendiri. Sedikit banyak, lu sedang berbicara dengan diri lu sendiri, dan itu akan membantu lu buat merenungi hidup lu yang ternyata, sungguh berharga.

Slow down, sob! Jangan terlalu kenceng. Banyak lagu enak untuk jadi obat, banyak penceramah asyik untuk jadi penenang, banyak penjual nasi uduk enak yang harus lu nikmati dan banyak jawara yang harus lu taklukkan!

Sebenernya, ada banyak hal yang mau gue omongin soal pekat dan amisnya Cikande. Tapi, sudahlah. Gue mau fokus ke hal itu aja. Sebab sepertinya, jika masalah itu teratasi, kisah-kisah haru di Cikande bisa berkurang: berganti dengan kisah di mana anak muda Cikande bisa hidup wajar tanpa senggol-senggolan, tanpa gossip, tanpa narkoboy dan tanpa tekanan. Lalu para sesepuhya bisa bermain lepas bersama cucu kesayangan dan menua dengan hati yang ikhlas nun damai.

Sungguh, gue ingin menulis tentang itu. Rindu menulis tentang itu.

Sekarang, gak ada yang bisa gue laukin selain menggempur Cikande dengan doa. Sebab, jauh di dalam hati gue yang busuk ini, selalu ada harapan untuk Cikande yang lebih baik. Cikande yang gemilang dan mempesona.

Maaf, jadi seperti kampanye politik.

Ya udah. Sehat-sehat kalian!

2 comments
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *