Bertemu Fatmi Eps. 1 – 6

Gue cukup sering denger temen-temen gue dateng ke psikolog bahkan psikiater. Kebanyakan cewek. Eh, semuanya cewek deng. Terus gue suka nanya ke mereka seimpact apa pengaruhnya.

Kebanyakan cuma rasa lega, karena di situ lu disuruh cerita dan akan dikulik sedalam-dalamnya. Lu akan ngomong ke hal paling sentimentil. Si psikolog cuma dengerin. Keseringan responnya adalah pertanyaan.

Maka, kalo lu tulis, omongan lu itu bisa jadi novel atau naskah drama.

“Kalo lu nyaman, lu bisa bongkar aib lu sama psikolognya res” kata salah satu teman suatu ketika.

“Terus udah?” tanya gue.

“Udah gitu doank. Gue ngerasa lega dan menjadi pribadi yang baru!” kelakarnya sambil menenggak bir tuangan ke sekian.

Tentu, sebagai pribadi yang isinya skeptis mulu gue gak percaya. Maka, gue berargumen ke dia.

“Elu tuh, gak harus ke psikolog. Lu tuh, cuman butuh pacar yang mau dengerin elu dan ga berisik” Kataku sambil cengengesan.

“Lha emang ada yang mau dengerin kita? Emang ada yang mau ngasih support ke kita secara tulus dan free? Bahkan ini gue nemuin lu aja effort gilak. Semua orang punya harga kan?”

Seketika, gue ingat mama.

Meski dulu gue gak begitu deket, dan gak pernah nyeritain hal-hal  yang terjadi sama gue. Gue gak pernah curhat, gue gak pernah cerita apapun masalah gue. Dan mama juga gak pernah pressure gue untuk cerita.

Gue cukup ngerasain kehadirannya aja, gue cukup ngeliat wajahnya, gue cukup dengerin nafasnya yang mulai berat, dan itu bikin gue fine-fine.

Mama itu kayak punya gelombang yang bikin gue tenang, bikin gue nyaman minum kopi sore-sore sambil ngudut.

Dan, berdasar dari pertanyaan temen gue itu, gue mengaggap bahwa mama adalah psikolog terbaik di dunia.

“Tapi gak semua orang punya mama kayak lu kan res?”

---

Terus gue mulai ngebongkar isi kepala gue. Gue nyari-nyari alesan kenapa mama yang meskipun gak pernah jadi tempat gue cerita, bisa se-impactfull itu.

Gue dapet satu memori; mama pernah nyebokin gue pas gue kecepirit kelas 4 SD. Saat itu gue diketawain satu sekolah, mama dateng ke sekolah bawa celana ganti. Ya gue tetap dimarahin, tapi entah kenapa sejak saat itu sampai sekarang, gue ngerasa itu bentuk pertolongan yang luar biasa. Gue ngerasa gue jadi ada temennya. Mama. Gue punya temen.

“Oke. Tapi lu punya temen deket kan? Atau orang yang akan lu kontak pas lu di titik terendah?” gue tanya balik ke dia.

“Gak ada. Sekali pun ada, yang ada malah adu nasib” jawabnya sambil nyumet udut ke sekian.

Terus gue cuman diem. 5 detik kemudian, dia bilang lagi

“Kadang kala ya, res. Apa yang ada di kepala gue, cuman cukup untuk dikeluarin aja tanpa ada feedback. Gue gak butuh orang untuk memahami gue. Gue ga butuh simpati orang. Gue ga butuh orang sok care sama gue. Sebab, in the end, kita semua akan berjalan sendirian. Di jalan sepi yang dingin. Maka, dengan ngobrol sama elu kayak gini, otomatis gue jadi terlatih ngadepin ini sendiri. Gue jadi punya banyak referensi. Sorry to say, lu gak akan ada pas misalnya gue tiba-tiba mati kan?”

Gue nyumet udut. Dia ngelanjutin

“Dateng ke psikolog itu adalah cara termudah gue untuk ngosoing sampah di kepala gue. Ya meskipun sekali lagi, selalu ada yang kita bayar. Dan gak semua psikolog bener-bener bisa memahami apa yang gue keluhin”

“Hidup ini pada intinya cuman transaksi kok, res”

Gue lagi-lagi diem. Gue bingung harus ngeresponnya gimana. Untuk mencarikan suasana, gue tanya

“Lu tuh orangnya sholatan gak sih?”

Sambil ketawa kecil, dia tanya balik.

“Kapan terakhir kali lu ngaji?”

---

Gue dan dia sama-sama senyum kuda. Kita memilih untuk tidak menduskusikan itu lebih detail. Karena dari dulu, gue sama dia sepakat bahwa tindakan-tindakan religusitas adalah privasi yang harusnya dijaga rapat-rapat.

“Eh, tapi gue penasaran deh. Dari banyaknya psikolog yang lu kunjungi itu, pernah ada yang nanya nggak sih agama lu apa?” tanya gue.

“Nggak ada. Kalau sampai ada, gue bakal langsung cabut!” jawabnya tegas.

Gue cuma mengaggukan kepala. Terus nyoba buat ganti topik dengan nanya

“Btw, lu tau gak kalo di deket sini ada gudeg enak?”

“Lha, kok gitu?” jawabnya.

“Lha, kenapa?” saut gue.

“Ayo kita diskusi soal itu.”

“Apa? Gudeg?”

“Keyakinan. Bukan agama. Karena gue yakin lu bisa ngebedain antara agama dengan keyakinan.”

Gue diem beberapa saat. Mengatur posisi duduk. Gue sedikit deg-deg-an. Bukan karena gue gak paham bedanya agama dengan keyakinan. Tapi pas dia mulai me-nyecek udutnya, terus ngiket rambutnya ke belakang, dan matanya direct langsung ke mata gue, dia seksi parah sob! Aseli. Entah kenapa ya, cewek tuh selalu sukses bikin cowok gemeteran cuma dengan gestur tubuh dan argumen yang keluar dari kepalanya.

“Oke, gimana?” kata gue sedikit terbata-bata.

“Saat gue lagi bener-bener down, ada moment di mana gue ngerasa gak pantes meyakini apa yang gue yakini sekarang. Kayak gue tuh busuk aja gitu. Dan gue terlalu busuk untuk masuk ke ranah yang adalah keyakinan orang banyak”

“Maksudnya?” tanya gue sambil mengerutkan dahi.

“Gue tuh busuk. Agama gue tuh suci, tinggi, mulia. Gue gak pantes ikut agama ini. Gue cuma ngotorin agama ini” jawabnya sambil memberi tanda kutip di kata agama dengan mengangkat jari telunjuk dan tengah.

Gue sedikit kaget pas dia ngomong kayak gitu. Secara gak sadar, dia punya kesadaran yang luar biasa akan itu. Karena menurut gue, kesadarannya itu, juga salah satu bentuk kesadaraan yang dikasih sama Tuhan. Dan gue sangat mengapresiasi itu. Dari pada kita ngaku-ngaku berkeyakinan, tapi kelakuannya bejat? Mending ngaku busuk sekalian gak sih? Toh, kita semua juga lagi cemas besok kita tuh dapet nilai berapa dari Tuhan.

“Ahhh.. iya gue paham. Terus?” tanya gue.

“Tapi setelah gue melakukan banyak perenungan diri, gue ke psikolog, gue baca buku-buku pengembangan diri, dan kulineran di Jogja tentu saja, gue sampe pada kesimpulan; bahwa gue tu kayak orang yang lagi naik gunung.” Jawabnya.

“Gimana tuh?” tanya gue.

“Gue mengibaratkan puncak gunung itu adalah Tuhan gue. Gue sedang menuju ke sana.”

Seketika, temen gue menyatukan kedua tangannya ke dada sambil menundukkan kepala. Dengan mata terpejam, lirih dia bilang…

“Tuhan, aku sedang menuju pada-Mu. Entah kau akan menerimaku atau tidak, itu terserah-Mu. Aku sedang berusaha mengenal diriku lewat diri-Mu. Semaksimal mungkin. Berusaha agar Kau beri kekuatan lebih besar. Keikhlasan lebih lebar. Kesabaran lebih lapang. Hal-hal busuk yang tidak Kau terima ini, akan kujadikan pengingat agar lebih waspada di sepanjang jalanku menuju pada-Mu. Jika aku terjatuh, jatuhku adalah karena ingin menuju-Mu. Sebagai parameter, cukuplah jadikan aku bermanfaat bagi orang-orang di sekitarku, termasuk Reshie yang susah rabi ini”

Gue diem beberapa saat. Sedikit ketawa di kata rabi. Tangannya mengusap sesuatu yang jatuh dari matanya. Mata yang tadinya setajam omongan tetangga itu, kini tampak teduh dan penuh rahmat.

“Kok jadi serius gini sih?” kata gue nyoba ice breaking.

Sambil menyalakan udut, dia lempar pertanyaan

“Menurut lu, Res. Kita ini sebenernya udah bener-bener menikmati hidup belum ya?”

---

PART 4

Mari kita panggil temen gue ini, Fatmi. Asal Surbaya, kelahiran 1994. Fatmi anak tunggal, dibesarkan oleh gaduhnya lemparan piring, bantingan pintu, pisuhan oleh ayah dan ibu serta suara jerit tangis di sepertiga malam.

“Lu tuh anak adopsi!”

Kalimat yang keluar dari ibunya itu, bikin Fatmi sering lost control dalam pemakaian obat penenang. Sementara sang ayah keseringan tak peduli dengan kondisi mental anaknya dan lebih memilih mengurus kerjaan tembakaunya.

Akhirnya, terciptalah jarak cukup ekstrim antara Fatmi dengan ayah dan ibunya. Fatmi sengaja memilih sekolah di beberapa kota berbeda agar tidak satu atap dengan keluarganya. SD di Surabaya, SMP di Tangerang, SMA di Jakarta Selatan dan kuliah di Jogja.

Secara materi, Fatmi hidup cukup layak. Ia tak pernah pusing besok makan apa, tak pernah bingung besok mau healing ke kota bahkan negara mana. Btw, salah satu wawasan dari Fatmi ke gue adalah dia ngasih tau gue tata cara bikin passport.

Fatmi kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri favorit di Jogja. Ia memilih jurusan Antropologi sebagai bidang yang disukai.

Fatmi juga suka musik-musik slow rock, buku-buku karya Pablo Neruda, Haruki Murakami, Emha Ainun Nadjib dan keranjingan baca esai pendek di internet. Fun fact! Fatmi gak pernah makan di burjo selama di Jogja!

“Ya karena gue gak suka makan di ruangan yang pengep aja sih” dalihnya saat gue tanya alasannya.

Perkenalan gue dengan Fatmi terjadi saat gue dateng ke salah satu pemeran seni di Jogja. Fatmi jadi moderator untuk sesi tanya jawab dengan salah seorang budayawan kenamaan.

Kesimpulan yang dia kasih untuk menutup sesi tanya jawab itulah yang kemudian bikin gue tertarik kenal lebih jauh dengan Fatmi. Saat itu, dia bilang…

“…sebagai manusia kita perlu tahu apa dan di mana posisi kita di dunia ini. Kalau kamu seorang penulis, menulisah saja. Kalau kamu seorang dokter, tolonglah sebanyak orang yang kamu bisa. Kalau kamu seorang konten kreator, berkontenlah yang jujur dan berguna. Sebab, semesta tak pernah tinggal diam untuk niat yang baik. Pasti, ada balasan yang baik. Jika kita merasa itu kurang baik, mungkin kita sedang lupa bersyukur”

“Anying, sok bener banget ini orang” kata gue dalam hati.

Singkat cerita, setelah dapet Instagramnya, gue sering DM-DM-an sama Fatmi. Kita lumayan intens komunikasi, sekedar tanya info cuaca, info kuliner enak sampai info klitih terbaru.

Suatu ketika, gue ngajak Fatmi ngopi di salah satu café di Gejayan. Dan terjadilah oborlan itu. Yang bikin obrolan itu cukup lama adalah karena Fatmi feminis garis keras, sedang gue selalu penasaran dengan konsep feminis di kepala orang banyak. Dari situ, cerita melebar ke hal-hal deep sekaligus dark di hidupnya.

“Btw, gue tuh kalau di depan orang banyak emang aja sok-sokan bijak aja, Res. Bersyukur apaan! Yang ada nggetih terus!” katanya sambil menuangkan botol ke gelas.

Gue bergumam dalam hati.

“Betul. Kita selalu punya topeng berbagai karakter. Menjadi diri sendiri di depan orang banyak, itu omong kosong!”

---

“Berat amat kegelisahaan lu” jawab gue saat dia nanya soal apakah kita sudah menikmati hidup atau belum.

“Dari pada gue tanya soal kenapa UMP Jogja seupil dan jadi provinsi termiskin di pulau Jawa?” balasnya.

“Hahhhh.. ya udah gas lah!” jawab gue sedikit males.

“Oke-oke- oke. Biar lebih santai, gue geser ke ciri  orang bisa menikmati hidup aja deh. Menurut lu?” tanyanya.

“Hemmm… menurut gue bisa ketawa setiap hari itu adalah ciri kita bisa menikmati hidup sih. Ketawa itu berkah. Dan gak semua orang bisa ketawa setiap hari.” Jawab gue sekenanya.

“Kalau gitu, orang dengan gangguan jiwa adalah orang paling bisa menikmati hidup, ya?” balasnya.

Satu hal paling gue sebel sama ini anak adalah dia selalu merespon jawaban gue dengan pertanyaan yang bikin otak gue keganggu, bikin gue balik mempertanyakan jawaban gue sendiri.

“Bisa senyum setiap pagi?” kata gue ngasih opsi dan tetep sekenanya.

“Lu liat dua pasangan itu? Arah jam 11.” Tanyanya.

“Iya, kenapa?” jawab gue setelah melirik ke kiri.

“Sejak kita dateng, mereka gak berhenti buat lempar senyum satu sama lain. Lu yakin mereka lagi  menikmati hidup? Asal lu tahu, sekarang tuh, banyak banget orang menjadikan senyum cuma formalitas. Variabelnya ada banyak. Lu pura-pura senyum ke dosen biar dapet nilai A padahal lu benci banget sama itu dosen karena sering ngirim pap mesum, atau lu pura-pura senyum ke bos biar cepet naik jabatan padahal dia spesies paling brengsek karena karena lu tau dia main dating app saat isterinya hamil tua atau lu pura-pura senyum ke pacar lu untuk memuluskan finansial lu lewat warisannya padahal pacar lu itu bikin lu sering mimpi buruk.” Jawabnya sedikit berapi-api.

Dia ngelanjutin…

“Sedikit banyak, gue sepakat sama lu soal senyum dan ketawa adalah ciri orang bisa menikmati hidup. Tapi di satu sisi, itu terdengar gak berimbang karena ada istilah pura-pura senyum dan ketawa tanpa sebab. Ditambah kita selalu menempatkan kepentingan di atas segalanya. Lagi-lagi, kita bertransaksi. Kali ini in negative way.

Terus, kita juga gak punya nilai ukur yang jelas untuk memahami apakah kita semua ini bener-bener lagi menikmati hidup atau belum. Nikmat buatmu, belum tentu nikmat buatku kan?” tambahnya.

Gue sengaja gak ngerespon, selain bir gue udah abis, gue ngerasa temen gue ini bakal ngasih satu hal penting untuk gue renungin malam ini.

“Selama 28 tahun gue hidup, Res. Dengan banyaknya hal-hal yang terjadi sama gue, gue punya hipotesis soal itu. Tapi inget iya, ini cuma hipotesis. Artinya ia tunduk dengan hukum waktu. Bisa berubah.”

“Oke jelasin deh” jawab gue.

Sambil menjauhkan badannya dari meja, dan matanya menerawang jauh entah ke mana, dia ngelanjutin…

“Di titik ini, gue ngerasa kita tuh cuma jangan buru-buru aja. Pelan-pelan aja. Dalam hal apapun. Itu akan ngasih waktu kita buat menikmati hal-hal kecil yang sering terlupa. Yang penting kita tahu tujuan kita, kita tahu batas idealisme kita, maka di situ gue pikir, kita sedang menikmati hidup. Outputnya kita jadi lebih bijak untuk memilih mana yang terbaik buat kita,”

Gue lagi-lagi kaget. Itu keluar dari kepala perempuan yang punya kisah pilu jauh di belakangnya.

Bersamaan dengan itu, gue jadi inget pepatah Sunan Kalijaga

“Angeli ananging ora keli. Mengalirlah, tapi jangan sampai tenggelam”

---

PART 6

Malam kian tinggi. Onion Ring di depan kami tinggal 1 biji. Tersisa sebotol air mineral sebagai penetralisir. Diam-diam, jogja mengirim angin ke tengkuk leher sebagai pengingat obrolan harus segera disudahi. Sebelum gue ngode ke Fatmi untuk pulang, dia tanya ke gue.

“Gue kenal sama lu udah cukup lama, Res. Dan gue tau, lu tipe cowok yang susah buat ngeluarin isi kepala lu yang semrawutnya kayak billboard di Gejayan itu. Lu tuh beraninya cuma blak-blakan di internet doank! Payah!”

Gue ketawa cukup lama saat Fatmi bilang gitu. Sebelum gue ngerespon, dia ngelanjutin.

“Gak semua hal bisa lu handle sendiri, Res. Gak semua harus sesuai dengan kemauaan lu. Kadang lu harus nurunin ego lu. Jujur, ego lu kayak telek sih, btw. Tapi percaya deh. Sekeras apapun lu memperjuangkan seuatu, segila apapun lu mengusahakan sesuatu, endingnya lu gak akan tahu. Lu bisa aja kecewa, stress dan bikin lu uring-uringan lagi. Kepala lu jadi kayak lingkaran setan.”

Lagi-lagi gue kaget. Dan ada sesuatu ngerambat di dada gue. Tubuh gue merespon dengan gejala yang aneh. Gue Cuma diem.

Dia ngelanjutin…

“Gue tau lu ga butuh nasehat, lu ga butuh kata-kata bijak yang selalu lu anggap omong kosong dari mulut gue. Tapi, gue akan tetep nekat menawarkan ini buat lu pikirin: turunin ego lu, maka ekspektasi lu juga bakal turun. Ketika ekspektasi lu turun, gue jamin, lu gak akan kagetan dan bisa tidur lebih nyenyak dari biasanya”

Gue ngambil napas dalam-dalam. Lalu masuk jauh ke palung kepala gue. Mencari padanan kata yang tepat untuk merespon itu. Tapi entah kenapa gue blank seketika. Kata-kata berhamburan, berantakan, gue gak bisa ngambil satu kata pun di kepala gue buat ngerespon itu.

Sementara angin makin nakal, café mulai remang. Beberapa orang mulai hilang, termasuk pasangan yang gue kira lagi menikmati hidup itu. Oke, ini harus segera disudahi sebelum kepala gue makin kehilangan kendali.

“Yuk, balik” katanya sebelum gue ngajak balik.

“Yuk!” Jawab gue singkat.

“Gue tau kok lu udah mulai stress. Sorry ya! Seneng ngobrol sama lu! Jangan kapok! Ntar gue beliin bakpia deh!” katanya sambil merapihkan meja dan mengambil kunci kendaraan dari tasnya.

“Emang lu tau bakpia kesukaan gue?” jawab gue.

“Bakpia yang dikukus itu kan?” balasnya.

“Njir. Itu mah bukan bakpia” kata gue dalem hati.

“Iya makasih yak! Gue juga seneng bisa ngobrol sama lu. Meski ntr malem gue bakal susah tidur lagi sih!” jawab gue sambil ketawa kecil.

“Mampus!” jawabnya sambil membuka pintu kendaraannya. Sebelum membayar parkir, Fatmi balik menghampiri gue..

“Nih. Lu harus kontak orang ini. Orang ini ngebantu gue banget. Dan gue yakin lu cocok sama ini orang” katanya sambil ngasih gue kartu nama.

Gue baca; Clinical Psychologyst | Blabla, S.Psi., M.A.

“Hmmm.. oke” balas gue. Sambil memasukkan kartu nama itu ke saku celana. Bukan ke dompet.

Fatmi pun berlalu. Wangi parfumenya masih ngerangkul hidung gue. Bersama deru kendaraannya yang makin menjauh, gue stater motor. Menarabas Jogja yang pekat dan dingin. Menuju pulang; kembali ke hidup gue yang payah.