Terhitung sejak dua bulan terakhir, ada tiga kabar pernihakan yang nusuk kuping gue. Dan itu dari orang-orang yang sering bersinggungan sama gue. Jujur gak sedih sama sekali. Gue justru bahagia. Gue cuma ngerasa makin ketinggalan aja. Dan perasaan ketinggalan itu, selalu nggak enak gak sih?
FYI. Sejak beberapa tahun lalu, gue sama Fatmi sepakat untuk nggak saling menaruh hati. Meski sebenarnya, sejak awal ada kesan “kita nih sebenernya apa sih?”.
Tapi in the end, gue sama Fatmi sadar kalo kita cuma cocok jadi temen yang dateng pas ada butuhnya doank. Atau sebagai penyimbang ketika salah satu di antara kami dijauhkan dari circle terdekat.
“Anjiirrrr…” jawab gue setelah Fatmi bilang mau nikah.
“Kok bisa?” tambah gue.
Fatmi diam beberapa saat. Matanya kembali milirik ke satu keluarga yang riang tertawa. Bersama semilir angin, matanya kembali natap mata gue dan ia pun menjawab.
“Im ready for big game now aja sih. Sebab ini satu step untuk lebih bisa memaknai kehadiran gue selama ini. Gue ini mau ngapain sih di sini? Tujuan gue ke mana? Setelah gue banyak melakukan perenungan diri dan konstultasi ke psikolog gue, akhirnya gue mantap buat terikat. Terus secara batin, gue ngerasa udah siap juga, dan ya udah, gue akan terima segala bentuk konskuensinya”
“Ah I see. Kadang salah satu cara untuk jadi lebih bijak dan dewasa adalah dengan mencari masalah baru ya?” jawab gue.
“Persis kayak konten lu itu” jawabnya.
Gue menahan diri untuk nggak netesin air mata. Ya, finaly! Fatmi menemukan jalannya.
“Dia orang yang tepat?” tanya gue sekonyong-konyong.
“Nggak juga sebenernya. Dia bahkan bukan type gue. Tapi dia bertanggung jawab”
“Cuma karena dia bertanggung jawab?” tanya gue.
“Itulah kenapa gue nggak milih lu kan?”