Hai cantik. Aku ingin bilang sesuatu. Dan kuharap kamu mau mendengarnya. Ini dari aku, kekasihmu yang ternyata tidak setegar itu.
Cantik, sejauh ini aku sangat senang mendengarmu bicara. Dan aku selalu memilih untuk diam saat kau menceritakan sesuatu. Lalu ketahuilah, bahwa aku sangat bahagia kau jadikan rujukan saat kau butuh pendapat atau masukan. Aku merasa kau anggap ada. Percayalah, aku ingin kau tetap begitu.
Tapi mari kita mundur sebentar. Kita bicara soal aku. Lagi-lagi semoga kamu mau mendengarnya.
Ketahuliah, cantik. Jauh dalam lubuk hatiku, aku serupa bocah yang butuh didengar. Aku butuh kau pahami dan mungkin mengusap dadaku ketika hidup meninju keras kepalaku.
Aku juga ingin kau mendengarku dengan seksama, melihat mataku, meraba perasaanku, menanggapi semua hal kecil yang terjadi seharian ini.
Aku ingin kau tanyai soal mengapa aku lebih senang kentang balado ketimbang semur kentang, misalnya. Atau mengapa aku lebih suka Marvel ketimbang DC. Atau mengapa aku lebih senang sunrise ketimbang sunset. Aku ingin kau mengorek semua hal dalam hidupku.
Dan juga… aku berharap dalam beberapa moment, kau jadi psikolog paling mumpuni; di mana kau bisa merespon cerita-ceritaku, agar aku bisa lebih panjang bicara.
Sungguh aku juga ingin jadi kamu. Jadi yang lebih banyak bicara daripada mendengarkan. Sebab rasanya melegakan sekali ketika kita didengarkan dengan sungguh. Dan kadang kala, bosan juga selalu jadi pendengar, ya.
Maka, Cantik. Aku ingin menawarkan sesuatu padamu. Begini…
Ah tidak jadi. Besok saja.