Pada malam minggu itu sedikit pink, kita beradu mata sambil menggenggam kuat impian bisa memiliki rumah di atas bukit.
Kau ingin kamar tidur dengan desain jendela kaca infinity.
“Aku ingin melihat langit dan gerombolan burung yang mungkin tersasar” katamu.
Aku menyetujui itu dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya gempa bumi atau badai topan.
“Kau tak boleh merokok di WC apalagi di kamar tidur!” ancammu menggemaskan.
“Tenang, aku akan berhenti merokok saat kita sudah serumah” jawabkku, mengikuti prinsip temanku tiga tahun lalu.
Ya, pada malam minggu itu kau datang dengan milyaran harapan –yang kemudian membuatku bisa begadang lebih lama hanya untuk punya rumah dengan jendela kaca infinity.
Kau bertahan, demikan aku. Tapi, nyatanya kita lupa bahwa kata ‘bertahan’ adalah kata kerja -yang pasti punya akhir dan tak bisa selamanya.
“Aku butuh kepastian! Kau malah jatuh cinta dengan ‘tunda’. Kau penakut!” katamu di malam minggu ke sekian.
Aku masih mengingat malam minggu itu. Malam penuh harapan yang sedikit banyak mengubah cara pandangku memahami kamu sekarang; bahwa kamu, memang tak selayaknya menggenggam mimpimu bersamaku, apalagi mewujudkannya, apalagi menuntaskannya.
Lalu, di malam minggu ini, di Kalasan, sedikit cemas, aku masih merokok; tentu juga di WC dan kamar tidur. Meski gempa bumi dan badai topan belum juga muncul. Meski pada akhirnya aku mengamini ‘tunda’ sebagai kata benda, bukan kata kerja.