Kamu 1

Seseorang pernah berkata padaku, bahwa ia menyesal setelah bertemu dan mengenalku,

sebab apa-apa yang kubagikan di sosial media tidak tampak seperti yang ia persepsikan. Semua itu bermula dari pertanyaanku setelah menenggak Americano di sebuah kedai kopi Instagenic di Selatan Jogja.

“Apakah cuma aku lelaki yang kamu temui tiga bulan ini?”

“Iya.”

“Dating apps tidak bekerja dengan baik?”

“Bukan. Bukan itu. Sepertinya aku tidak punya waktu untuk mengulik seseorang sebelum aku yakin akan menemuinya. Tapi kamu, dengan apa-apa yang kamu bagikan di Instagrammu itu, membuat jalan pintas untukku. Aku jadi tahu isi pikiranmu, apa yang kamu kerjakan dan bahkan aku tahu siapa yang kamu rindukan. Mungkin ini terdengar tidak adil buatmu. Tapi begitulah kenyatannya.”

Aku mendehem cukup keras. Ia tak bereaksi. Aku kaget atas pandangan perempuan berjam tangan hitam ini terhadapku. Meski setelah kupikir-pikir, aku akan mengeluarkan statement yang sama jika aku adalah dirinya.

Ya, sepertinya, di sosial media, aku terlalu “telanjang”.

“Sejujurnya, kamu memang tidak adil. Postinganmu nol, instastorymu seminggu sekali, bahkan instastorymu selalu berisi hal-hal tidak penting, tidak seperti perempuan kebanyakan yang mana rutin memamerkan kegemasannya dengan aneka filter lucu warna-warni. Dan kau tahu apa yang lebih tidak adil?”

“Apa?”

“Foto profilmu menghadap ke belakang.”

Ia tertawa cukup keras. Aku tidak begitu keras. Ia memotong Croissant, aku membakar Gudang Garam.

“Jadi apakah pertemuan ini akan sia-sia?”

“Sepertinya, iya. Sejujurnya setelah tiga kali kita bertemu, aku menyesal mengenalmu”

Aku hampir jungkir balik. Bukan karena ia salah menyebut angka pertemuan (yang mana adalah empat kali), tapi sepertinya baru kali ini aku mendapat statement demikian secara real –meski aku tahu ada banyak perempuan di luar sana yang lebih memilih diam atau menghindar ketimbang mengucapkan kata-kata itu, yang mana hampir pasti akan dicap tidak punya adat ketimuran.

“Karena ternyata aku tidak setampan Taehyung?”

“Bukan. Karena hidupmu, ternyata, baik-baik saja.”

Aku menarik napas panjang dibarengin kata “sial” dalam hati.

2 comments
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *