Kamu 2

Seseorang pernah bertanya padaku mengapa aku belum punya kekasih padahal menurutnya, aku cukup proper untuk jadi tempat pulang seseorang.

Sebelum berkata itu, ia meminta maaf terlebih dahulu. Takut menyakiti perasaanku, katanya.

“Kamu baik, menyenangkan, dan cara bicaramu selalu bisa membuatku betah mendengarkan meski kadang aku suka sulit menangkap maksudmu” katanya lewat sambungan telpon.

“Percayalah, kamu bukan orang pertama yang bertanya itu. Dan jawabannya akan selalu sama; aku pun sedang mencari tahu.”

“Padahal lewat instastorymu, kamu cukup sering berinteraksi dengan bakal-calon jodohmu, ya?”

“Betul –tanpa bermaksud sombong. Sejujurnya, aku dimungkinkan untuk tinggal memilih, lalu mengajaknya merajut tali-tali asmara. Tapi tolong jangan terlalu menyanjungku. Sebab kadang aku bisa brengsek juga”

“Brengsekmu itu, maksudmu, adalah ketika kita bertemu?”

“Tentu bukan. Itu cuma bagian kecilnya”

“Memelukku tiba-tiba CUMA termasuk bagian kecil dari kebrengsekanmu? Hah?! Gila kamu! Untung pelukanmu hangat. Jadi, ya… baiklah.”

“Sial.”

“Bisa jabarkan kebrengsekanmu yang lain?”

“Saat aku mengatakannya kamu pasti membenciku. Tapi ndak papa. Aku akan selalu bicara jujur padamu.”

“Ya. Kamu pernah bilang bahwa cuma kamu lelaki terjujur yang mungkin pernah kutemui. Dan aku mau tetap meyakini itu.”

“Ya. Aku pernah mengatakannya. Maaf terkesan tendensius.”

“Tak apa. Lanjutkan.”

“Soal pertanyaanmu mengapa aku belum punya kekasih padahal aku dimampukan untuk mewujudkannya adalah karena –mungkin akhirnya– kepalaku dipenuhi pilihan-pilihan, standar-standar, dan beragam pertimbangan. Itu yang tanpa kusadari melahirkan kebrengsekanku yang lain. Yaitu… singkatnya, kamu, sebenarnya bukan satu-satunya orang yang kudekati. Aku pun sama sepertimu; sedang menyeleksi. Tak jarang aku melancarkan flirting ke orang selain kamu. Dan hingga percakapan ini terjadi, aku masih menempatkan kamu serta mereka sebagai pilihan. Ya, mungkin itu. Sejauh ini, itu. Semoga bisa menjawab pertanyaanmu.”

Angin mendesir ke tengkuk leherku … sedang di ujung sana, tak kudengar sepatah pun suaranya. Aku harus membaikkan keadaan!

“Hei, tapi tolong dengarkan. Ini pointnya; meski begitu, baru kamu, yang kuniatkan seserius itu. Dan…”

“Kamu memang brengsek!”

Tut, tut, tut, tut… ia menutup telpon, nada suaraku mengecil. “…baru kamu perempuan yang kuajak makan di Wedang Kopi Prambanan.

Satu menit kemudian, satu pesan masuk darinya.

“Heh lelaki kardus! Tak ada satu pun mahluk di semesta ini yang mau jadi pilihan! Pergi kau setan jahanam!”

4 comments
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *