Suatu hari, kau pernah cerita soal hatimu yang patah, juga perang dingin antara kepala dengan hatimu yang payah.
Sebelum kau bilang kupingku adalah rumah keduamu, kau mengaku mahluk paling lunglai dengan seabrek keluhan.
Juga sebelum kau bilang lenganku adalah guling keduamu, kau sukar menidurkan diri dan sering runtuh di jam 2 pagi.
“Manusia cuma bisa hidup dengan harapan” katamu di akhir pertemuan.
Seketika Jogja jadi remang-remang dan basah. Kita berpelukan berkali-kali dan mata kita berdesak-desakan.
Lalu dengan sok tahunya, kau bilang ini padahal begitu. Kau lupa pulang, lupa pada apa yang kau miliki, lupa menelan doa.
Dan kau lupa pada rumah dan gulingmu.
Sialnya aku juga lupa. Bahwa kau itu gemar bercanda untuk aku yang selalu serius.