Kentang

Akhirnya kita bertemu lagi. Dan lagi-lagi, kamu mengagetkanku.

“Mas. Nanti ngopinya di sekitar sini aja, ya” katamu di WhatsApp.

Aku mengiyakan, meski sebenarnya aku punya rencanaku sendiri jika saja waktumu lebih lama di Jogja. Hari itu cukup melelahkan buatku. Tidurku kurang karena harus mengakumulasi tugas-kerja dan membackup beberapa agenda. Oh ya, aku juga baru sadar sekarang, ternyata melelahkan juga ya pura-pura biasa aja padahal ada letupan kegembiraan karena bisa ketemu kamu lagi.

Sok cool itu nguras tenaga banget!

“Aku udah di depan. Tapi ujan” kataku di WhatsApp sambil misuh dalam hati karena lupa beli cokelat. Ah, sudahlah. Aku akan datang padamu apa adanya saja.

“Ya udah masuk aja dulu. Aku di depan” balasmu.

Aku mencarimu di sela-sela gerimis. Samar-samar aku melihatmu. Lalu kukecilkan mata untuk memastikan bahwa itu benar kamu. Dan ternyata benar itu kamu.

Seketika aku meleleh. Kau membuat gelombang kejut ke dadaku, lewat cara jalan dan kibasan rambutmu.

“Kamu kok cakep banget sih?” ucapan itu hampir keluar dari mulutku. Untung aku masih ingat pesan temanku; sok cool res! Jangan keliatan seneng.

Maka, aku cuma memberimu tawa kecil paling aneh. Tawa kecil yang kini kusadari itu adalah tanda-tanda meluapnya dopamin.

Dan, akhirnya kita duduk di tempat yang sama. Kita berhadap-hadapan. Tanpa ada sekat, tanpa ada kopi atau makanan ringan. Kadang kala aku mencari ekor matamu, tapi segera kubuang pandanganku ketika kau membalasnya. Lalu aku salah tingkah; garuk-garuk, melihat jam tangan dan mengecek ponsel.

Sementara kamu, terus mengirimkan gelombang kejut lewat banyak cara; mengikat rambut, membenarkan baju, menggusap mata dan entah bagaimana caranya kita jadi sedekat itu. Aku bisa melihatmu lebih jelas. Bisa melihat pupil matamu yang ternyata lebih besar. Mencium wangi parfumemu yang tegas sekaligus penuh misteri.

Dan yang paling membahagiakan adalah, aku bisa memelukmu dengan kesadaran penuh.

Lalu, bunyi gerimis di luar berubah jadi alunan partitur paling ritmis nun hangat. Kita menciptakan kedekatan yang canggung. Melahirkan perasaan aneh saat aku menemukan jari-jari lentikmu di tanganku.

Tiba-tiba Jogja jadi melankolis. Jogja kembali menanamkan ingatan yang muskil kuhapus. Ingatan betapa anehnya hari itu. Sial.

Dan waktu untuk pulang pun menyapa. Kita pulang meninggalkan setumpuk pertanyaan. Bagiku, kau pulang mewariskan lagu Hujan Turun-nya Shiela on 7 di Kalasan.

Hei, ada yang ingin kubicarakan. Dan ini serius!

Enggak ding. Eh tapi, Ya udahlah!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like
Read More

Aku Rabi Sama…

Lebaran kemarin tak ada pertanyaan “KAPAN RABI?” dari orang-orang komplek. Mungkin mereka bosan karena selalu kujawab sekenanya tiap…