Suatu masa yang jauh kita sempat jadi sejoli lupa waktu. Yang dengan segala kepolosan mampu mengubah awan kota kita jadi lebih artistik. Kita merangkum banyak senja di kota kita menjadi tumpukan puisi penuh bunga.
Aku masih ingat betul, Desember yang basah kala itu. Kita mengitari kota sambil bicara lagu-lagu dan alasan mengapa kau tak suka bunga mawar. Padahal wangimu serupa mawar, tentu mawar merah.
Lalu sejak kota ini jadi saksi perpisahan kita yang tanpa lambaian tangan itu, tak kutempukan lagi kupu-kupu saling bercumbu di taman kota. Kota ini tampak payah dengan segala riuhnya. Aku merasa asing dan sendirian, juga ingatan tentangmu selalu menghadirkan rindu yang ngilu.
Hei, apakah kau sudah temukan jalan-jalan baru? Apakah kau melihat awan berbentuk kelinci? Dan boleh aku tahu…
Udara mana kini yang kau hirup? Hujan di mana kini yang kau peluk? Di mana pun kau kini Rindu tentangmu ‘tak pernah pergi
Ya, kota ini selalu menguarkan wangimu. Kota ini selalu seteduh matamu, dan kota ini tanpamu adalah kesalahan.