Aku tak mengingatmu lewat puisi. Aku tak mengingatmu lewat hujan atau sore. Aku tak mengingatmu lewat romansa city light yang membuat malam kita dipenuhi bunga-bunga. Aku mengingatmu lewat irisan luka tanpa jeda.
Kesedihan yang pekat, air mata yang kusam, dan kepiluan yang tumpah ruah di selasar perasaanku membuat bahagia kehilangan makna. Dan yang paling menyebalkan adalah aku akan selalu terperangkap di ruang hampa; menyaksikan waktu mengeras sedemikan rupa, dan entah kenapa, hari ini, tak ada lagi ucapan cinta yang bisa kupercaya.
Namun aku tetap berdoa. Pun sebelum aku mengirim pesan perihal kepergianmu yang selalu tak bisa kau eja karena kepalamu setebal batu sehingga waktu cuma memberiku luka paling runcing.
Luka yang menusuk segala indera. Luka yang menyengat kepala hingga jadi terasa membosankan. Luka yang membosankan … kau bisa bayangkan? Dan akhirnya, luka membuatku mati rasa.
Luka. Tiada rasa. Mati rasa, telah terbiasa. Semua karena. Luka
Maka terbanglah, entah ke bahu yang mana, entah ke bahagia yang mana. Aku akan tetap merawat luka ini. Harapku kau tak lagi jadi semak belukar penuh duri, yang pandai melukai tanpa bilang permisi.