Menyenangkan rasanya, tahu ada teman yang melahirkan buku. Tentu sebagai manusia dengan tambahan emblem S.S, bikin pingin ikutan juga. Hihi..
Semoga segera!
Jadi, ini buku kedua Riska Kahiyang: 120 Menit Mendengar Kecemburuan di Gejayan. Kata “Gejayan” di judul bukunya membuatku penasaran seperti apa Riska mengemas Gejayan ke dalam sebuah karya.
Bagiku pribadi, Gejayan terpacak sebagai jalan genting sampai hari ini. Di sana sempat ada haru, sempat ada moment menggemaskan, sempat ada perjuangan, sempat ada tengkar dan dulu hampir setiap hari aku melintasinya. Bahkan aku masih ingat betul titik-titik krusial itu. Oh ya, jika mau menengok ke belakang, ada huru-hara kelam juga di situ –yang kemudian terekam sebagai salah satu sejarah penting di Jogja.
Di buku ini, Riska memberiku cukup kejutan dengan lima cerpennya. Kental sekali aroma luka dan sesuatu yang selalu kita sebut “rumah”. Riska terasa ingin membumikan kata-kata. Mungkin ia tak mau pembaca ikut merayakan “dunia ideal” yang sering kita lihat di internet. Pilihan diksi yang dipilih nggak muluk-muluk dan terasa langsung ke point. Di beberapa bagian, Riska berusaha menonjolkan keresahannya dengan cara paling santun. Tentu, Riska berhasil melakukannya.
Semua cerpennya ditulis pada 2022. Cukup fresh ya! Produkif sekali ia.
Mari ku ceritakan kesanku tentang lima cerpennya tersebut.
- LUKA ROBEK DI BAJU
Di cerpen pertama, Riska bicara soal bagaimana ia berhasil mendestruksi pemaknaan “sejarah”. Riska sekonyong-konyong mampu mengemas sejarah ke dalam kantong plastik. Baginya, sejarah nggak melulu soal perang atau kesan heroik. Sejarah bisa berwujud apa saja, termasuk sebuah perpisahan atau jalan keluar dari luka. Cara Riska menceritakan itu membuatku jadi berpikir ulang tentang makna sesungguhnya “Mas, aku mau udahan” dari kekasihku terdahulu.
Terkadang waktu berperang cukup indah untuk mengakhiri luka. Sejarah baru saja kukemas dalam kantong plastik. – hal. 10.
- 120 MENIT MENDENGAR KECEMBURAN DI GEJAYAN
Cerpen kedua, adalah soal rekam ingatan Riska di sepanjang jalan Gejayan. Tentu, kalau kamu menetap cukup lama di Jogja, pasti bisa membayangkan keruwetan Gejayan di jam-jam sibuk. Riska berhasil membuatku masuk ke dalam moment itu. Tentang macet yang bringas, lampu merah paling lama, gersang aspal, muda-mudi kekinian, wangi kecut dan setumpuk kemrungsung di kepala. Menggemaskan memang; cemburu buta di jam padat –apalagi di Gejayan. Fiuh!
Aku telah menjelajah ke hati orang-orang, ke pikiran-pikiran jalang, sampai pada jalanan yang lebih rimba dari hutan, namun itu semua belum apa-apa. – hal. 21
- ENERGI MERACIK BUMBU
Cerpen ketiga punya judul dan isi yang unik. Kau akan tersedar dengan hal-hal kecil di rumahmu; seperti bagaimana Riska tak sepakat dengan penyebutan bawang merah, aneka fungsi bumbu dapur yang sesungguhnya, bahkan Riska cukup baik mendeskripsikan aroma ke kalimat. Meski tak sedetail itu bicara tentang resep, nyatanya hal-hal tentang resap jauh lebih intim di cerpen ini. Tak lupa, ada air mata di situ. Bukan milik buaya, tapi milik ibu, atau milik Riska, mungkin karena bawang, atau lebih sering karena perpisahan.
Konon kata ibu, dapur adalah perpaduan paling lucu dalam hidupnya. – hal. 24
- PERCAKAPAN BANTAL
Di cerpen keempat aku melihat Riska in real life. Meski tak cukup baik mengenal isi kepalanya, ia adalah salah satu teman kampus yang suka betul bergelut dengan jam malam –mungkin hampir nokturnal. Di judulnya, aku tahu ini akan bermuara ke mana. Lagi-lagi, Riska bicara tentang kenangan. Hufffttt.. menyenangkan sekali ya mengingat-ingat itu. Apalagi ada lagu yang makin menguatkan itu 🙂
Orang hebat tak akan membuat orang lain khwatir. – hal. 34
- PILIHAN TIDAK DIJUAL DI PUSAT BELANJA
Cerpen kelima, adalah tentang Riska sebagai female; yang suka tas lucu, diskon akhir pekan, menolak belanja barang mahal –meski katanya sendiri itu sekedar alibi. Di bagian tengah sampai akhir cerpen, nuansa berubah lebih serius. Ada Riska yang tampak bertempur (dewa wkwk) antara dunia ideal dengan pilihannya sendiri, dikuatkan dengan sosok ibunya sendiri. Di cerpen ini, aku sebut ia pemberani.
Ibu selalu mendukung setiap pilihan hidupmu. Sekarang keputusan ada di tanganmu. – hal. 47
Jadi itu dia kesanku. Kalau ada hal yang mungkin bisa aku kritik, hanya soal desain layout dan pemilihan warna sampulnya saja. Tentu ini selera. Selebihnya, tak ada. Menyenangkan!
Terima kasih, Riska! Jangan berhenti di sini!