Pada akhirnya kita harus meyakini bahwa kedekatan yang instan tak akan melahirkan hubungan yang panjang. Ya, belum ada satu bulan, akhirnya kita saling menumpahkan derai air mata di sore penuh keganjilan itu. Oh iya. Apakah kau tahu? Wangimu masih menempel di bajuku, lengkap dengan sedih paling raya.
Perkara perdebatan itu; aku bersiteguh mencari jalan keluar. Kau menolak sambil terus menyepam kepalaku dengan alasan tak masuk akal. Dan kau tampak baik-baik saja. Bahkan senyummu dihiasi kegembiraan yang melimpah. Aku layangkan harapan. Kau tak menyebutkan tujuan. Dan itu membuatku penasaran…
Sudah adakah yang gantikanku?
Yang khawatirkanmu setiap waktu?
Yang cerita tentang apapun sampai hal-hal tak perlu?
Kalau bisa jangan buru-buru, kalau bisa jangan ada dulu.
Atau mungkin karena kedekatan kita yang terlalu buru-buru, sehingga kepala kita lebih sering menumpuk ingatan manis ketimbang getir-pilu.
Tak apalah. Aku sudah biasa; mengakhiri rumitnya hubungan dengan kata semoga. Ya. Semoga. Semoga kita akan kembali dipertemukan dalam keadaan yang lebih baik –sambil meyakini bahwa perpisahan yang melegakan itu nyata dan akan menimpa kita.