Sial-nya Mahalini

Hari itu kutanamkan kepastian di matamu; bahwa aku ikhlas menjadi lansia bersamamu. Bahwa aku siap membuatkanmu secangkir kopi lengkap dengan pisang goreng setiap pagi, dan memijat lemah pundakmu kala sore datang.

Ya, aku selalu menanamkan kepastian padamu –yang sialnya kupanen luka seiring waktu.

Dan… Sial. Kau jahat; meninggalkanku sepihak tanpa ada sepakat.

Sekarang kau layaknya orang asing yang kutemui di stasiun, sibuk lalu-lalang membawa hatimu, sambil memikul puisi-puisi romantis yang katamu cuma buatku ke entah siapa.

Juga rayuan ala Fiersa Besarimu itu kini terasa kuno dan terdengar penuh petaka.

“Kau boleh menjadikanku tempat bersandar saat harimu padat dan berat, sayang” katamu sambil mengusap rambut kepalaku disusul cium bertubi-tubi.

Mungkin, seseorang telah berhasil menyalakan kembang api di dadamu. Seseorang sukses membuatmu ceria sampai lupa waktu. Seseorang mampu mengajakmu masuk ke dunia yang tak kelabu. Seseorang dengan segala apa yang dipunya, mampu membuatmu mudah melupakanku.

Ya, kenyatannya aku akan selalu jadi orang kalah dan tercurangi. Selalu jadi tempat pemberhentian untuk orang-orang sepertimu. Selalu merasa sakit, patah, hancur, insomnia, dan gila saat kepergian datang menyapa.

Lalu kau tau yang paling sial? Bahwa kau benar-benar menghilang, sedang aku terkurung kenangan. Sendirian.

Kau benar-benar beranjak, sedang aku tak bisa bergerak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like
Read More

Post a Picture

Jujur, aku menantikan memory ponselku penuh karena dibrondong papmu. Sangat kunantikan ponselku berisik tersebab kau mengirim semua pose…